Saturday, November 24, 2007

“AVIP” Bagian-1 : Cerita Pesta


“Sisi..ya?”..tiba-tiba ada seorang cowok menyapaku dan tersenyum…..eeehm..manis euy…, ketika itu aku sedang duduk menunggu kakak mengambil hidangan prasmanan pada pernikahan sepupuku. ”I..i..ya…, maaf…mas siapa ya…aku kok agak lupa?” jawabku agak tergagap. Kembali senyum manisnya mengembang…”Wah..sombong nih…mentang-mentang sudah lama jadi ‘mojang priangan’, coba deh inget-inget lagi….rumah nenekku yang di sebelah pakdhemu ini” katanya sambil coba kasih ‘clue’. Sebenarnya aku juga agak sedikit inget setelah kuperhatikan wajahnya, tapi aku masih belum yakin.

Wajah itu seperti wajah kakak cowok mbak Mia-teman kakakku. Sewaktu aku masih SD, di mataku dia sudah anak gede dan aku mengira mas ini sudah di SMP atau SMA. Yang aku inget, dia hanya datang sekali-kali saja ke rumah nenek mbak Mia, dan yang mencolok dan nggak kulupa adalah kulitnya yang putih bersih beda dengan kulit anak-anak di desaku yang kebanyakan hitam kecoklatan terbakar matahari. Waktu itu aku sering melihat dia tapi tidak pernah kenalan, hanya kakakku yang sering ngobrolin tentang dia dengan mbak Mia, makanya aku bisa tahu nama mas itu adalah AVIP.

“Kok malah ngelamun..sih, inget nggak?” tanyanya membuyarkan lamunanku di masa kecil. “Aduh sorry…...mas ini apa cucunya mbah Dono yang rumah sebelah ya?” tebakku. “Iya,bener…trus apalagi yang kau ingat? tanyanya masih sambil memberikan senyum manisnya. “Ehm…mas kakaknya mbak Mia? lanjutku. “Bener sekali…berarti kau masih inget aku dong..Sisi” katanya. “Wah..syukur deh aku gak salah nebak,” sahutku. Tapi aku malah jadi penasaran, kok dia tahu namaku dan tahu kalau aku lama tinggal di Bandung. Padahal seingatku aku tidak pernah kenalan apalagi ngobrol dengan dia selama ini, walaupun kadang aku masih melihat dia sedang di rumah neneknya ketika aku main ke rumah pakdheku.

“Kok, mas tahu namaku dan tahu kalau aku tinggal di Bandung selama ini, rasanya kita nggak pernah kenal” tanyaku penasaran. “Ok deh … sekarang aja kenalannya yuk … namaku AVIP..mungkin kamu sudah pernah tahu dari Mia atau dari sepupumu” katanya sambil menyodorkan tangannya lagi ke arahku. “He…he…iya deh boleh…karena mas sudah tahu namaku, jadi nggak perlu kusebutin lagi khan” kataku sambil membalas sodoran tangannya untuk berkenalan. Selanjutnya tak terasa obrolan pun mengalir diantara kita serasa ketemu teman lama. Akhirnya aku tahu kalau dia dari dulu sebenarnya sudah mengetahui tentang keluargaku sewaktu rumah kami masih di sebelah rumah pakdheku, dan sesudah kami sekeluarga pindah ke lain desa dia juga masih sering mendengar cerita tentang keluarga kami dari sepupuku.

“Aku dengar kamu sudah lulus dari ITB dan sekarang juga sudah kerja di Bandung ya ‘Si?” tanyanya. “Bener, mas…aku sekarang kerja di konsultan engineering untuk suatu proyek perkotaan di Bandung. Kalau mas sendiri sekarang sudah kerja dimana ?” balasku. “Aku hanya kerja di sebuah Badan Perkreditan yang masih kecil dan belum lama berdiri. Kebetulan aku dan temanku “Suga” dipercaya untuk mengelola dan mengembangkannya bersama anak pemilik modal terbesarnya. Sebagian besar investasi berasal dari pak Brojo salah satu orang terkaya di kota kita yang pasti kamu juga sudah tahu, dan hanya sebagian kecil yang berasal dari aku dan Suga. Makanya anak cewek pak Brojo yang menjadi Direktur Utama-nya, sedangkan aku dan Suga lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan operasionalnya. Kau kenal Suga khan?” jelasnya.

Aku tersenyum kecil mendengar nama si Suga dia sebut, terlintas dalam ingatanku seorang cowok bandel dan ‘playboy’ anak juragan kacang yang rumahnya masih satu desa dengan pakdheku. Tapi sewaktu aku sudah SMA orang tuanya membuka usaha produksi cemilan kacang tak jauh dari rumahku yang baru. Aku masih sering ketemu si Suga, apalagi kebiasaannya sering ngebut naik motor di jalan samping rumahku. Dan kalau melihatku sedang di halaman depan rumah, dia pasti mampir mengajak ngobrol dan bercanda bahkan seringnya menggodaku dengan rayuan gombalnya.

Memang kuakui si Suga itu ganteng dan aku juga suka ke dia, tapi ke-playboy-an, kebandelan dan kegombalannya itu yang membuat aku males dijadikan pacar. Tapi tetap saja…dasar ‘playboy’…walaupun sudah berkali-kali kutolak, nggak bosan-bosannya masih menggoda dan menggombal juga. Kayaknya dia ke-‘pe-de’-an karena dia tahu kalau aku sebenarnya menyukai kegantengannya. Daripada aku musti ‘jutek’ ke dia, lama-lama aku nikmatin saja kegantengannya, godaannya dan gombalannya, toh dia juga nggak nolak ketika akhirnya kuajak temanan saja. Sampai akhirnya aku harus kuliah di Bandung, kita masih saling cerita lewat surat dan dia pasti menemuiku sewaktu aku pulang kampung pada saat liburan semester. Tapi setelah aku sibuk dengan KKN, Kerja Praktek, Tugas Akhir sampai diwisuda dan langsung dapat kerja hingga akhirnya jarang pulang kampung, aku jadi tidak pernah ketemu dia lagi sampai hari pernikahan sepupuku ini.

“Oh..iya, aku sudah kenal lama sama si Suga. Tapi aku nggak tahu kalau ternyata dia kerja sekantor dengan mas Avip, kukira dia ngelanjutin usaha orang tuanya” kataku sambil masih tersenyum kecil teringat kenanganku dengan si Suga. “Aku tadi juga sudah ketemu dia mas, tapi belum sempat cerita banyak, karena dia sedang sibuk sebagai ketua Pemuda yang ikut mengurus acara pernikahan sepupuku ini” lanjutku. “He..he..sebenarnya aku tadi sudah ngelihat kamu sewaktu ketemu si Suga. Aku awalnya cuma penasaran saja….‘siapa sih cewek berkulit putih bersih ini…cakep lagi….kok akrab bener sama Suga……dan kayaknya aku pernah lihat wajahnya. Karena penasaran akhirnya sambil sibuk barengan Suga ngurusin acara, aku nanya-nanya dan ngobrolin kamu. Makanya aku tahu tentang kamu, namamu dan siapa kamu ‘Si” kata mas Avip sambil tersenyum penuh arti. “Iih…jadi mas tadi bo’ong ya, katanya sudah tahu tentang aku dari dulu..eh..ternyata baru saja dapat ceritanya dari Suga….dasar pembohong” protesku sambil kupukul pundaknya. “Aduh…sakit” pekiknya tertahan..”Maaf deh…tapi aku nggak bo’ong seratus persen kok, memang aku sudah tahu sebagian tentang keluargamu dan aku juga sering lihat kamu kalau sedang main ke pakdhemu, cuma aku memang nggak pernah tahu namamu saja ‘Si” kilah mas Avip. Aku cuma bisa tertawa kecil mendengar pembelaannya dan akhirnya kita malah tertawa bareng menyadari kekonyolannya.

Tak terasa tamu-tamu sudah pada pulang dan para pemuda desa sudah mulai sibuk membereskan piring-piring dan gelas-gelas kotor habis pakai para tamu. Obrolan kita pun terhenti karena mas Avip harus kembali ikut membantu membereskan tetek bengek selesainya acara pernikahan. Akupun kembali bergabung dengan keluargaku untuk mengobrol sebentar dengan pengantin dan keluarga pakdheku yang lainnya dan selanjutnya sekalian pamitan pulang. Aku sempat ketemu lagi dan ngobrol sedikit dengan Suga dan akhirnya pamitan pulang juga ke dia. “Kalau sempat nanti aku ke rumahmu sebelum kamu balik ke Bandung ya ‘Si” katanya. “Ok..deh..ditunggu ya…bye” jawabku sambil beranjak pulang.

Sewaktu aku berdiri di gerbang depan menunggu adikku dengan kendaraannya untuk pulang, mas Avip berlari-lari kecil menghampiriku, “Si, sebelum kamu pulang aku mau ngomong ‘bentar”. “Ada apa mas?” tanyaku. “Kapan kamu balik ke Bandung ‘Si?” tanyanya. “Hari Selasa sore mas, naik kereta yang jam 9 malam dari Solo, karena hari Rabu aku sudah ngantor lagi” jawabku. “Begitu..ya…kok cepet sih…aku kira kamu baliknya masih minggu depan” katanya pelan. “Memang kenapa mas?” tanyaku. “Ehm..aku pengin main sebelum kamu balik ke Bandung ‘Si….boleh nggak kalau aku ke rumahmu hari Senin malem besok dan hari Selasa-nya pulang kerja sekalian nganter kamu ke stasiun?” pintanya dengan wajah yang agak menghiba tapi masih dengan senyum manisnya. Sejujurnya aku agak kaget mendengarnya dan tanpa kusadari tiba-tiba kurasakan ada suatu perasaan asing menyelinap di dadaku yang membuat aku agak ‘deg-deg pyur’ juga. “Ya sudah…kalau mas mau main aku tunggu di rumah hari Senin malem, kalau hari Selasa-nya mau nganter balik, ‘ntar kita omongin lagi saja pas hari Senin besok. Anyway, thanks ya mas” jawabku akhirnya. “Ok, thanks juga ya ‘Si. Cepetan tuh..adikmu sudah nungguin di kendaraannya, ’ntar dia ngambek lagi…see you tomorrow ‘Si…..bye” katanya. Sambil berlari kecil menuju kendaraan, kulambaikan tanganku ke mas Avip sambil setengah berteriak “..bye mas..see you…”

Malamnya sewaktu aku ngobrol dengan kakakku di tempat tidur, kuceritakan tentang perkenalanku dengan mas Avip di pesta pernikahan sepupuku siang tadi. Kakakku cuma senyam-senyum dan ketawa-ketiwi saja sambil meledek ”Aduh yang asyik ‘mojok’ di pesta…sampai-sampai kakaknya nggak dianggep ‘babar blas’….kue-kue dan hidangan yang nyamleng pun tak mampu menggodamu untuk melahapnya…..mentang-mentang santapannya cowok cakep…kayaknya si upik “man-hater” mulai jatuh cinta ya.” Kesal juga aku dibuatnya, tapi memang aku tidak bisa menyembunyikan perasaan “asing” yang masih menyelimuti hatiku dan seakan terbaca jelas di wajahku oleh kakak yang sudah jagoan pacaran dan pinter menebak orang jatuh cinta. Setelah capai meledek, kakakku sempat sedikit menasehati, ”Kamu hati-hati ya kenalan sama Avip, apalagi katamu dia temenan sama si bandel Suga. Walaupun aku kenal dekat sama Mia-adiknya tapi aku juga nggak begitu kenal sama si Avip ini. Belum lagi nanti kalau kamu dengar komentar ibu tentang dia dan keluarganya, terutama tentang neneknya yang dulu musuhan sama keluarga pakdhe.” Sambil mencoba menutupi perasaanku, kujawab saja enteng “Iya, deh…dia besok khan cuma mau main saja.” Tak lama kemudian sudah kudengar suara dengkurannya, ternyata dia sudah terlelap tidur.

Kulihat jam di dinding kamar sudah menunjuk angka 12, sudah hampir satu jam kucoba memejamkan mataku, tapi mau tidur saja kok susah benar sih….bayangan senyum manis mas Avip di wajahnya yang ganteng dan teduh menari-nari di pelupuk mataku dan semua obrolan dan canda kita siang tadi terngiang kembali di telinga. “Mas Avip lagi mikirin aku juga nggak ya….dia bisa tidur nggak ya….Ya Allah, apakah aku sedang jatuh cinta…atau ‘kesengsem’ bahasa jawanya….”gumamku dalam hati.. Tapi aku kepikiran juga dengan ucapan kakakku sebelum tidur tadi, jangan-jangan mas Avip bandel dan ‘playboy’ juga kayak si Suga… jangan-jangan nanti si Suga marah kalau tahu mas Avip main ke rumah… jangan-jangan nanti ibu nggak suka melihat mas Avip main ke rumah…jangan-jangan nanti mas Avip diinterogasi sama ibu…..jangan-jangan…jangan-jangan…..sampai akhirnya aku terlelap sendiri capai dengan seribu pikiran dan pertanyaan yang menggantung.

“AVIP” Bagian-2 : First Dates

“Mbak, ada tamu…katanya nyari mbak Sisi,” kata pembantuku ketika aku sedang santai ngobrol dengan ibu, kakak dan adik-adikku di teras belakang setelah makan malam. “Oh..ya…siapa yu..sudah disuruh masuk belum ?” balasku bertanya. “Sudah saya suruh masuk...tapi saya nggak nanya siapa namanya… yang jelas tamunya cowok ganteng mbak…pacar mbak Sisi ya,” jawab si Yu sambil ngeledek. “Huuh..si Yu ini sudah tua matanya masih ‘ijo’ aja, cepetan buatin minuman dulu tamunya,” tukasku sambil segera bergegas ke kamar tamu.

Dari belakang kulihat seorang cowok duduk di kursi tamu sambil membuka-buka majalah yang tergeletak di meja. Setelah agak dekat aku sudah bisa mengira kalau cowok itu adalah mas Avip. “Eh..mas…sudah lama datangnya…sorry ya aku tadi sedang ngobrol-ngobrol di teras belakang, nggak tahu kalau ada tamu, sampai si Yu nyamperin,” kataku agak berbasa-basi. “Belum kok ‘Si…paling cuma baru lima menitan,” jawabnya tersenyum sambil menatap wajahku tanpa berkedip. “Waduh…kok mas Avip ngelihatku begitu ya…belum lagi..senyum manisnya itu…..kok tiba-tiba bikin dadaku ‘deg-deg-pyur’ lagi sih…” gerutuku dalam hati. Walaupun awalnya agak canggung, akhirnya aku bisa menguasai perasaanku dan kitapun bisa ngobrol ngalor ngidul. “Nyambung juga ngobrol sama mas Avip ini…ngobrol serius bisa…diajak bercanda pun ‘hayo’… nggak kalah seru,” batinku setelah tak terasa kita terlibat obrolan dan candaan yang seru dan lumayan lama. Sampai-sampai baru kusadari ternyata jus jeruk dan cemilan yang dihidangkan si Yu sudah hampir habis.

“Mau nambah jus jeruknya lagi mas,” kataku. “Terima kasih ‘Si….kayaknya sudah malem nih…sebaiknya aku balik, nggak enak nanti kalau sampai kemaleman. Tapi besok sore sepulang kerja aku boleh kesini lagi khan dan sekalian antar kamu ke stasiun,” katanya. “Oh iya…nggak kerasa sudah jam 11 malem ya mas,” sahutku sambil menoleh ke jam dinding. “Boleh kok kalau mau nganterin aku ke stasiun…asal nggak ngrepotin mas Avip saja,” lanjutku kemudian. “Thanks..’Si….kalau begitu aku pulang dulu ya…aku bisa pamitan ke ibu khan?” tanyanya. Kuantar mas Avip ke teras belakang pamitan ke ibu dan kakak serta adik-adikku yang memang masih asyik ngobrol.

Selesai pamitan, kita berdua berjalan menuju ke halaman depan. Sesampai di pintu mobil…mas Avip tiba-tiba meraih kedua tanganku…kemudian diciumnya……dan sambil masih menggenggam kedua tanganku dia berkata lirih “Thanks for this great night ya ‘Si”. Aku cuma bisa tersenyum dan agak tersipu menjawabnya, ”Sama-sama mas…thanks juga..sudah mau main kesini, sampai ketemu besok sore ya.” “Ok, sampai besok ‘Si,” katanya sambil pelan-pelan melepas tanganku dari genggamannya dan kemudian dia masuk ke mobilnya. Kulambaikan tanganku ke arah mas Avip sampai mobilnya pelan-pelan meninggalkan rumahku. Aku kembali masuk ke rumah setelah mobil mas Avip menghilang di kegelapan malam.

Ketika sampai di teras belakang kulihat ibu sudah tidak di tempat. “Ibu sudah ke kamar tidurnya” kata kakakku seakan dia tahu aku lagi mencari ibu. Akhirnya aku kembali ikut ngobrol bareng bersama kakak dan adik-adikku, walaupun selanjutnya aku hanya menjadi bahan ledekan mereka. Kesal juga sih sebenarnya, tapi kalau kusadari besok malam aku sudah meninggalkan mereka lagi ke Bandung, “kapan lagi kita bisa bercanda dan saling ledek, kalau nggak pas pulang kampung seperti ini”, batinku. Dan akhirnya akupun malah senang dan menikmati semua ledekan-ledekannya.

“AVIP” Bagian-3 : Sobatku “Si Ganteng SUGA”

Pekerjaan di rumah yang aku nikmati setiap pulang kampung adalah menyapu halaman depan di pagi hari. Sambil menyapu bisa kunikmati udara segar pagi hari …. bisa kulihat matahari perlahan-lahan terbit di ufuk timur serta bisa kudengar kicauan burung yang terasa merdu di telinga….suatu hal yang sudah hampir tidak pernah kunikmati lagi selama tinggal di kota. Selain itu aku juga senang menikmati lalu-lalang orang dan kendaraan yang lewat di jalan samping rumahku, sehingga sekali-kali bisa bertegur-sapa dengan tetanggaku yang lewat.

Pagi itu seperti biasa setelah sholat subuh dan selesai beres-beres dalam rumah dengan si Yu, kuambil sapu dan mulai menyapu di halaman depan. Di tengah-tengah keasyikanku menyapu dan bersenandung, tiba-tiba kudengar ada suara mobil berhenti. Kulihat ada sedan hitam parkir di depan pintu gerbang dan kemudian keluar seorang cowok berkemeja putih dengan celana hitam dan berdasi corak biru. “Hi..’Si…kok asyik bener nyapunya,” kata cowok tersebut berseru. “Hi….Suga, kukira siapa…kok ada cowok ganteng dan perlente…pagi-pagi nyamper kesini…he..he…bisa juga kau pakai dasi dan berpakaian rapi model cowok kantoran ya,” sambutku sambil meledek. Setelah mendekat kamipun bersalaman dan ber‘cipika-cipiki’ kemudian kuajak dia duduk di kursi taman yang ada di pojok halaman.

“Terlihat warna aslinya…kalau lihat kamu pagi-pagi begini ’Si….masih tetep cantik,” katanya sambil cengar-cengir. “Suga…Suga…kamu itu dari dulu nggak pernah ya kalau nggak nggombal ke aku, coba kalau aku nggak pengalaman kau ‘gombalin’ pasti aku sudah klepek-klepek mendengarnya…..’dasar semprul’…belum mandi nih….masih bau juga,” tukasku. “Ngomong-ngomong pagi begini kok kamu sudah rapi bener, memang kantor buka jam berapa ‘Ga, paling ini juga baru jam enam. Kamu mau jadi ‘office boy’ ya?” kataku meledek. “Sengaja aku bangun pagi dan cepet-cepet dandan rapi begini ‘Si, aku sudah nggak sabar mau nemuin kamu, rencananya nanti terus langsung ngantor. Habisnya, kamu pulang kampung kilat bener…baru kemarin ketemu…eh…besok sudah balik ke Bandung…kangen tahu,” katanya. “Ok, deh…jadi lumayan kita bisa ngobrol dong ‘Ga…oh iya…mau nggak kubuatin kopi manis panas sama roti tawar selai nanas buat sarapan…pasti kamu tadi belum sempat sarapan khan,” kataku. “Wah…ini dia yang kutunggu ‘Si…kopi manis panas plus ‘made in’ Sisi….mau dong…tapi ‘gak pakai lama ya,” katanya. Tak lama kemudian kita sudah asyik ngobrol dan bercanda sambil menikmati kopi manis panas plus roti tawar selai nanas kesukaan kita berdua. Itulah yang kusukai dari si Suga, dia tetap seperti apa adanya dan berteman seperti biasa walaupun sudah berkali-kali kutolak cintanya.

“Tadi malam si Avip kesini ya ‘Si,” tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari mulut Suga. Aku agak sedikit tercekat…”eehm…iya ‘Ga, memang kamu ketemu mas Avip semalam?” jawabku ganti bertanya untuk menutupi keterkejutanku. “Nggak..sih…cuma tadi malam aku nggak sengaja telpon ke rumahnya ternyata dia nggak ada, dan kata adiknya dia sedang ke rumah mbak Sisi. Jadi bener dong kata adiknya, ngapain saja dia kesini ‘Si,” katanya agak menyelidik. “Cuma ngobrol saja dan besok janjian nganter ke stasiun. Memang kenapa ‘Ga, “ jawabku pendek berlagak ‘pilon’. “Ah, kamu ‘Si…kayak nggak tahu ada orang cemburu saja….memang si Avip lebih ganteng dari aku ya ‘Si,“ katanya sambil pura-pura cemberut. “Ha…ha…ha…kamu ini memang lucu ‘Ga, pakai cemburu segala…memangnya aku ‘yayang’mu yang perlu dicemburui ya,” godaku sambil kucolek pinggangnya. “Oh iya…semalam Mas Avip cerita kalau kamu barusan berhasil menggaet cewek cakep dari Matesih,” lanjutku menggodanya. “Ah…kamu ‘Si…percaya aja sama cerita Avip,” katanya. “Sudahlah ‘Ga, aku bisa melihat….dari pancaran sinar matamu….sekarang kau sedang berbinar-binar seperti biasa kalau sedang jatuh cinta….‘ntar kalau kau beneran cocok sama ‘tuh cewek, cepetan dikawinin saja biar nggak digondhol orang ya,” godaku lagi. “Bodo ah…,”jawabnya berkelit sambil kedua tangannya mencubit kedua pipiku dan tersenyum gemas.

Itulah pertemanan kita dari dulu….kalau ketemu bisa ngobrolin apa saja, bisa curhat apa saja, saling bercanda dan menggoda tanpa harus merasa tersakiti atau menyakiti satu sama lain. Obrolan pagi itupun berakhir setelah waktu menunjukkan jam 07.30 dan Suga harus berangkat ke tempat kerjanya. “See you later ‘Si…sorry ya aku besok nggak nganter kamu ke stasiun…habisnya sudah keduluan si Avip sih…,”katanya pamitan sambil masih menggoda. Aku cuma bisa tersenyum tengil saja sambil kubalas lambaian tangannya. Mobilnya pun pelan-pelan meninggalkan pintu gerbang rumahku. Selanjutnya kuselesaikan pekerjaan pagiku menyapu halaman yang masih kurang sedikit lagi.

Setelah mandi aku mulai sibuk membereskan semua baju-baju dan barang-barang untuk dimasukkan ke dalam koper yang akan kubawa pulang kembali ke Bandung nanti malam. Ibuku sudah berangkat mengajar, kakakku yang sekarang lagi co-as sudah berangkat ke rumah sakit, adik-adikku juga sudah pada berangkat ke sekolah masing-masing, tinggal aku sama si Yu yang di rumah. Daripada bengong sendirian, selesai beres-beres rencananya aku mau ke Solo jalan-jalan ke pasar KLEWER dan sekalian nyari oleh-oleh buat teman-teman kost dan teman-teman kerjaku. Di pasar KLEWER biasanya aku beli baju-baju batik buat dipakai sehari-hari, modelnya lumayan selalu ada yang baru dan lucu setiap aku kesana, kadang juga beli pernak-pernik souvenir khas Solo buat oleh-oleh. Untuk mencari oleh-oleh jajanan khas Solo biasanya aku pergi ke toko “ORION” di dekat Pasar Gede atau toko “JAJAN SOLO” kalau kebetulan jalan-jalan ke mal MATAHARI atau jalan-jalan mencari berbagai produk batik dan souvenir ke pusat batik ‘DANAR HADI’di Coyudan. Jajanan yang kubeli biasanya brem putih Solo, kripik paru, kripik ceker ayam atau kripik bayam, gethuk pelangi magelang, criping atau intip goreng, kue-kue khas buatan ORION dan minuman instant dalam sachet seperti beras kencur, jahe wangi, serbat jahe atau gula asem yang buatan asli Solo.

Selesai sholat dluhur, segera kurapikan lagi dandananku dan bergegas pamit si Yu mau ke Solo. Sewaktu sampai di pintu gerbang, tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti persis di depanku, dan tiba-tiba wajah tengil si Suga nongol dari balik jendela mobil. “Siang ‘Si, mau nyari oleh-oleh ya….kuanterin yuk,”katanya sembari keluar dari mobil. “Tapi ‘Ga….kok kamu nggak ngantor sih,” tanyaku sambil masih terkejut-kejut. Langsung saja dia menggandeng tanganku dan mengantarku masuk ke mobilnya sambil berkata enteng, “Ngobrolnya sambil jalan saja ‘Si”. Tahu-tahu Suga sudah menjalankan mobilnya dan aku sudah duduk di sampingnya. “Nah, sekarang kamu tinggal bilang mau kemana ‘Si…ke Orion..ke Klewer…ke Coyudan atau kemana ?” katanya. “Rencananya aku mau ke Klewer terus ke Orion ‘Ga, tapi kamu tadi kok tiba-tiba nongol saja sih dan tahu aku mau cari oleh-oleh. Dan lagi bukannya kamu seharusnya masih di kantor jam segini,” jawabku nyerocos. “Aku khan sudah hafal kebiasaanmu setiap pulang kampung ‘Si, kalau malemnya balik ke Bandung siangnya kamu pasti pergi ke Solo nyari oleh-oleh. Hari ini aku juga sengaja minta cuti setengah hari ke bos, biar bisa nganter kamu cari oleh-oleh. Habisnya ‘ntar malem khan aku sudah nggak bisa nganter kamu lagi,” jelasnya sambil setengah meledek karena dia tahu mas Avip ‘ntar malem yang akan mengantar aku ke stasiun. “Bisa aja…kamu ‘Ga, seharusnya kamu nggak perlu repot cuti-cuti begini. By the way, thanks ‘Ga…kamu memang sobatku yang baik hati dan tahu kebiasaanku banget, tapi ‘ntar nggak boleh protes kalau kecapaian kuajak puter-puter pasar Klewer lho,” kataku. “Buatmu, apa saja deh…..sayang,” katanya mulai menggombal seperti biasa.

Setelah makan siang berdua di TIMLO SOLO, akhirnya siang itu kuhabiskan waktuku bersama Suga untuk jalan-jalan di pasar KLEWER dan beli oleh-oleh di ORION. Jam empat sore kita sudah sampai di rumah lagi dan Suga langsung pamit pulang. “Thanks for all ya ‘Ga,” kataku. “Sama-sama ‘Si, take care and keep in touch ya sayang,” balasnya sambil memelukku seperti biasa kalau dia hendak melepasku balik ke Bandung. Tak lama kemudian dia sudah melesat dengan sedan hitamnya meninggalkan rumahku. ‘Suga…Suga…kau memang sobatku yang setia…coba kamu nggak bandel dan ‘playboy’….aku pasti sudah jadi milikmu….he..he…,” batinku sambil tersenyum kecil.

“AVIP” Bagian-4 : Di Stasiun BALAPAN

Kring….kring…..kring…..tiba-tiba terdengar deringan telpon di pojok kamar tak jauh dari meja riasku, ketika aku sedang menyisir rambut selesai mandi. Segera kuangkat gagang telepon, “Halo…sore…,” sapaku. “Halo…sore… Sisi ya…ini mas Avip,” terdengar suara cowok menjawab. “Oh..iya mas..ini aku Sisi, ada apa mas?” tanyaku. “Aku cuma mau kasih tahu saja…nanti aku nyampai di rumahmu sekitar jam 6-an ba’da maghrib. Aku sekarang sudah pulang kantor dan barusan sampai rumah, mau buru-buru mandi nih. Sampai ketemu nanti ya,”katanya. “Ok deh mas, sampai ketemu di rumah,”jawabku sambil menutup telepon.

Koper-koper dan tentengan oleh-oleh sudah kuletakkan di kamar tamu, akupun sudah rapi selesai berdandan. Ibu, kakak dan adik-adikku setelah sholat Maghrib seperti biasa sudah ngumpul dan ngobrol di ruang makan. “Bawaanmu ke Bandung sudah siap semuanya ‘nduk,” tanya ibuku setelah aku duduk bergabung dengan mereka. “Sudah bu,” jawabku pendek. “Makan dulu biar nanti di kereta nggak lapar. Paling di kereta nanti baru dapat makanannya sekitar jam 10-an, mana biasanya sudah dingin dan nggak begitu enak. Ngomong-ngomong nanti ke stasiunnya jadi diantar adikmu khan?” lanjut ibuku. Belum sempat kujawab, tiba-tiba adikku sudah nyeletuk, ”aku nggak perlu repot-repot kok bu….’ntar mbak Sisi sudah ada yang nganterin…mas Avip.” Dengan agak mendelik ibuku bertanya seakan memastikan, ”Bener….nanti mas Avip yang nganter kamu ke stasiun ‘nduk?” Sambil agak deg-deg-an kujawab pertanyaannya, ”Iya bu, nanti mas Avip yang nganter. Sebentar lagi dia nyampai kesini.”

Benar juga, baru saja aku selesai menjawab pertanyaan ibu, kudengar ada suara mobil berhenti dan tak lama kemudian terdengar pintu kamar tamu diketuk. Aku segera bergegas membukakan pintu dan terlihat mas Avip berdiri di depan pintu. “Ayo masuk mas,” kataku mempersilahkan. Tiba-tiba ibuku sudah berdiri di belakangku dan langsung ikut menyapa, ”Monggo..mas Avip….sekalian saja gabung ke ruang makan…ayo sekalian bareng-bareng makan malem.” Tak kuasa menolak ajakan ibuku, akhirnya mas Avip sudah ikut makan malam dan ngobrol dengan kita di ruang makan. Tapi ternyata malahan ibu dan mas Avip yang mendominasi obrolan di meja makan malam itu…ngobrolin tentang mbah Dono nenek mas Avip lah…ngobrol tentang keluarga pakdhe lah…ngobrolin tentang kerjaan mas Avip lah…ngobrolin keluarga pak Brojo bosnya mas Avip lah…ngobrolin keluarga mas Avip lah…. Begitulah ibuku, dia selalu punya cara yang halus kalau sedang menginterogasi cowok yang lagi dekat dengan anak ceweknya. Aku, kakak dan adik-adikku sudah paham betul dengan kebiasaan itu, makanya kita cuma senyum-senyum saja mendengar obrolan mereka. Baru nanti di lain hari kita harus siap mendengarkan semua komentar-komentar ibu tentang cowok kita itu.

Sekitar jam 7-an aku dan mas Avip pamitan ke ibu, kakak dan adik-adikku untuk berangkat ke stasiun. “Jaga diri baik-baik ya ‘nduk….terima kasih ya mas Avip sudah mau nganterin Sisi ke stasiun …hati-hati di jalan,“ kata ibuku mengantar kami berdua masuk ke mobil. Tak lama kemudian mobil mas Avip sudah meluncur ke Solo menuju stasiun kereta api BALAPAN. Sepanjang jalan kita ngobrol ngalor-ngidul dan bercanda.

Tak terasa kita sudah memasuki halaman stasiun BALAPAN, mas Avip memelankan laju mobilnya mencari tempat parkir dan akhirnya dapat di pojok yang lumayan masih lapang dan agak sepi. Setelah mobil berhenti, tiba-tiba mas Avip menoleh ke arahku dan meraih kedua tanganku kemudian menggenggamnya. Sambil tersenyum dia menatap mataku lama tanpa berkedip. “Aduh…..mas Avip ini…bikin aku deg-deg-pyur lagi….,” batinku sambil tak kuasa menatap tatapan matanya. “Sisi….sebelum kita berpisah sekarang…ada sesuatu yang ingin kukatakan ke kamu. Aku nggak tahu apakah kamu juga merasakan sesuatu yang selama ini kurasakan. Terus terang ‘Si, aku mempunyai perasaan yang susah sekali kubendung sejak perkenalan kita kemarin. Aku merasa senang…nyaman….dan bahagia banget selama dua hari ini, penginnya selalu ketemu dan berdekatan denganmu. Sekarang kamu harus balik ke Bandung, terasa ada sesuatu yang akan membawa pergi kebahagiaanku selama ini. Aku akan sangat merindukanmu ‘Si,” kata-kata itu meluncur deras dari mulut mas Avip dan aku terdiam menahan getaran-getaran perasaan yang tambah kenceng saja di dada.

Diraihnya kedua tanganku….digenggamnya di dadanya yang bidang……diciumnya dengan segenap perasaan………Aku hanya bisa menatapnya dan terdiam……Dan ketika tatapan mata kita beradu…….dia berbisik pelan, “………..Sisi……I love you……….” dan kemudian……kurasakan…..ciuman ‘dahsyat’ itu………di bibirku…………..oh, God…..what a wonderful….. Aku hanya mampu terpejam tak kuasa menahan getaran perasaan yang bergemuruh di dadaku.

“……..Please say that you love me.....’Si,” lanjutnya kemudian setelah kita terhenti hanyut dalam ciumannya. Kutatap wajah mas Avip sejenak………kutemukan tatapan mata dan senyum yang teduh itu………..yang tak mungkin kupungkiri…..itulah yang membuatku merasa nyaman untuk selalu berdekatan dengannya. “ …….I love you too……” kata-kata itu akhirnya keluar juga dari mulutku.

Kamipun akhirnya saling berdekapan….terdiam lama…tanpa berkata sepatah katapun lagi…..menikmati kebahagiaan kami berdua malam itu. Tak terasa air mataku mengalir…bahagia dengan perasaan cinta kami…sekaligus sedih dengan perpisahan ini. “Sisi…sudahlah sayang….walaupun kita berjauhan tapi masih bisa telpon-telponan dan surat-suratan khan. Nanti setiap ada waktu luang, aku akan selalu sempatkan menjenguk kamu ke Bandung,” sambil mengusap air mataku mas Avip mencoba mencairkan suasana romantis yang sendu itu. “Terima kasih ya mas…janji ya…,” kataku kemudian agak merajuk. “…I swear…”jawab mas Avip sambil tangan kanannya diangkat kesamping untuk bersumpah. Kamipun tersenyum bareng dan tak lama kemudian segera keluar dari mobil dan memanggil seorang porter untuk membawa semua barang bawaanku ke ruang tunggu di dalam stasiun. Mas Avip merangkul pundakku dan kamipun berjalan berdua mengikuti porter itu dari belakang.

Ketika kami memasuki ruang tunggu di dalam stasiun, kereta api LODAYA masih belum terlihat di jalur keberangkatan. Pak porter meletakkan barang-barang bawaanku di lantai kemudian keluar meninggalkan kami berdua. Porter tersebut nanti akan kembali setelah kereta datang dan dia akan mengangkat barang-barang bawaan tersebut sampai di dalam kereta dan meletakkannya di rak barang diatas tempat duduk penumpang. Kamipun duduk di kursi ruang tunggu sambil ngobrol serta sesekali melihat acara TV dan menikmati kopi manis panas yang disediakan untuk para penumpang di ruang tunggu tersebut.

“Si Suga tadi siang keluar kantor sampai sore baru balik lagi ‘Si. Ketika aku tanya, dia cerita kalau tadi dia nganterin kamu ke pasar KLEWER dan ke ORION nyari oleh-oleh. Memang bener ya ‘Si?” tiba-tiba mas Avip bertanya di tengah-tengah obrolan kita di ruang tunggu. Walaupun agak sedikit terkejut tapi akhirnya kujawab saja sejujurnya..toh..mereka berdua temenan. “Iya mas, aku sendiri juga nggak nyangka si Suga datang ke rumah siang tadi padahal kita nggak janjian. Tapi memang kebiasaan dia mas, tahu saja kebiasaanku nyari oleh-oleh setiap aku mau balik ke Bandung, dan dari dulu memang dia yang seringnya nganterin aku ke Solo puter-puter,” jelasku. “Suga itu juga pernah cerita kalau kamu sudah berkali-kali menolak dijadikan pacarnya. Tapi kalau kulihat, kayaknya kalian itu masih akrab saja sampai sekarang. Memangnya bagaimana sih hubungan kalian berdua itu ‘Si,” tanyanya lagi. “He…he…he….panjang dan banyak konyolnya mas kalau diceritain. Yang jelas memang aku nggak pernah ‘jatuh cinta’ ke dia walaupun dia berkali-kali ‘nembak’ ke aku. Setelah dia bosen ‘nembak’, akhirnya kita janjian untuk temenan saja. Tapi memang ada beberapa sifat Suga yang aku suka dan klop saja dengan sifatku untuk bisa temenan, makanya kita masih akrab sampai sekarang,”jawabku. “Oh..begitu ‘Si…maaf ya…kok aku ini kayak detektif saja …..nanya-nanya Suga kayak ‘menyelidik’….he..he...” Aku ikut tertawa mendengar komentar mas Avip tersebut. “Nggak apa-apa mas, lagian si Suga khan sobat mas juga khan,” kataku kemudian yang di-iya-kan oleh mas Avip.


‘Perhatian…perhatian…kereta api LODAYA jurusan Solo – Bandung sedang menuju jalur-1…para penumpang dipersilahkan bersiap-siap di pinggir jalur-1. …dst….” Tiba-tiba terdengar pengumuman dari loudspeaker di ruang tunggu. Pak porter datang dan sudah siap mengangkat semua barang bawaanku. Kita berdua segera bergegas mengikuti porter tersebut menuju jalur-1 kereta. Tak lama kemudian kereta api LODAYA sudah berhenti di jalur-1, dan kamipun bersama-sama para penumpang lainnya mulai memasuki kereta dan mencari tempat duduk masing-masing. Akhirnya sampai juga kita ke tempat dudukku di pinggir jendela no. 12A, kebetulan tidak ada yang duduk di deretan itu, mungkin karena bukan week-end jadi tempat duduknya banyak yang kosong. Pak porter segera meletakkan semua barang bawaanku di rak di atas tempat dudukku dan kemudian pergi setelah kuberikan upahnya. Karena sesuai jadwal masih 15 menit lagi kereta baru akan berangkat, mas Avip masih menemani duduk di sebelahku. Dia rangkul bahuku dan direbahkannya kepalaku di pundaknya sambil kemudian dibelai-belainya rambutku dan diciumnya. Kupeluk pinggang mas Avip dan kunikmati dekapannya…belaiannya...dan ciumannya. Kami berdua hanya terdiam mencoba menikmati suasana romantis yang akan segera berakhir 15 menit lagi.

Sampai akhirnya terdengar bunyi pertanda kereta akan diberangkatkan, mas Avip kemudian mencium keningku dan berkata lirih, ”I love you..’Si….selalu ingat cinta kita ya sayang….take care….jangan lupa besok pagi sesampai di Bandung langsung telpon ya.” Aku hanya mengangguk dan segera melepas pelukanku di pinggangnya. Akhirnya dia berjalan keluar dari gerbong kereta dan kemudian sudah terlihat berdiri di luar gerbong dekat jendela di samping tempat dudukku. Pelan-pelan kereta berangkat dan kubalas lambaian tangan mas Avip sampai akhirnya kereta meninggalkan stasiun BALAPAN. Samar-samar kudengar lagu Didik Kempot dari video yang ada di ujung gerbong….ing stasiun Balapan…kutha Solo sing dadi kenangan…kowe karo aku….dst……Aku jadi tersenyum geli mendengar syair itu….Akhirnya kupejamkan mataku untuk membayangkan dan menikmati semua kenanganku dengan mas Avip yang akan mengantar perjalanan malamku ke Bandung.